Rabu, 31 Desember 2008

Motif

Motif merupakan dorongan dalam diri manusia yang timbul dikarenakan adanya kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh manusia tersebut.
Ada beberapa kriteria motif:
berikut ini adalah motif-motif yang timbul pada diri manusia ketika berkomunikasi:
1. motif informatif, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan hasrat untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan
2. motif hiburan, yaitu hal-hal yang berkenaan untuk mendapatkan rasa senang
3. motif integrasi personal, merupakan motif-motif yang timbul akibat keinginan untuk memperteguh status, kredibilitas, rasa percaya diri, dll
4. motif integratif sosial, dimaksudkan untuk memperteguh kontak sosial dengan cara berinteraksi dengan keluarga, teman, orang lain
5. motif pelarian, merupakan motif pelepasan diri dari rutinitas, rasa bosan, atau ketika sedang sendiri

Pentingnya Mengetahui Motif dan Memberikan Motivasi Pada Peserta Didik Dalam Proses Belajar Mengajar

Banyak kita temukan pada peserta didik yang sangat giat sekali dalam belajar, hampir semua buku pelajaran yang dipelajari di sekolah atau di kampus dibacanya dan dikuasainya, sehingga ia diberi gelar kutu buku oleh teman-temannya dan lulus dengan hasil memuaskan. Dan sebaliknya ada pula peserta didik yang cara belajarnya tidak sungguh-sungguh, malas belajar, sehingga jarang mendapatkan nilai yang baik.
Dari kedua contoh diatas, terlihat bahwa tingkah laku belajar mereka berbeda dan diantaranya adalah motif yang ada dalam diri masing-masing. Menurut psikologi, bahwa motif berasal dari bahasa latin motivum atau movere yang berarti segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk berbuat atau bertindak melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan.

Dalam setiap diri peserta didik pada umumnya mempunyai dua macam motif atau dorongan yaitu motif yang ada dalam diri kita atau peserta didik disebut dengan motif intrinsik dan motif yang datang dari luar disebut dengan motif ekstrinsik (extrinsic motive). Dan kedua motif ini dapat bekerja secara sadar (consciousness) dan tidak sadar (unconsciousness).
Sebagai contoh seorang peserta didik ketika mengerjakan soal ujian ia berusaha mencontek jawaban temannya atau dari buku.
Berdasarkan contoh diatas maka kita sebagai pengajar dapat mengetahui apa yang dilakukan peserta didik yaitu melihat kanan kiri (knowwhat) , bagaimana melakukannya yaitu berusaha agar tidak diketahui mencontek (knowhow) , dan mengapa ia melakukan yaitu berusaha untuk berhasil mendapat jawaban yang benar (knowwhy).

Motivasi (Motivation)

Memberikan Motivasi kepada peserta didik adalah salah satu tugas pengajar dalam proses belajar mengajar, selain menyampaikan materi dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam konsep pembelajaran motivasi berarti seni mendorong peserta didik untuk terdorong melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa peserta didik yang datang ke sekolah atau ke kampus setiap hari, pada umumnya mempunyai latar belakang kejiwaan yang berbeda, diantaranya adalah ada yang hanya untuk memenuhi absen kelas, atau karena takut dimarahi orang tuanya, dan mungkin yang parah lagi adalah karena ingin bertemu dengan teman hanya untuk melepas kebosanan dirumah, sehingga minat belajarnya jadi berkurang. Dan semua itu adalah tanggung jawab kita sebagai sorang pengajar yang bukan hanya memberikan materi di kelas atau di lab, tetapi bagaimana bisa merubah latar belakang peserta didik datang ke sekolah atau ke kampus.

Dalam dunia pendidikan baik modern maupun tradisional, peran pengajar ikut menentukan OutPut atau hasil lulusan dari lembaga yang bersangkutan, Tetapi semua itu tergantung pada peserta didik yang mempunyai motif atau dorongan dari dalam diri masing-masing. Maka bagi pengajar peranan motivasi ini sangat penting dalam proses belajar mengajar, karena dapat menimbulkan kemauan, memberi semangat, dan menimbulkan kesadaran untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Caranya adalah dengan memberi pujian, nasihat, memberikan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas berkelompok, diskusi dan sebagainya.

Donald O. Hebb menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Drives and C.N.S. (Conceptual Nervous System) bahwa ada empat cara yang dapat dilakukan setiap pengajar untuk memotivasi peserta didiknya yaitu :

Arousal (membangkitkan minat melajar)

Seorang pengajar harus mampu membangkitkan motif intrinsik yang dimiliki peserta didik dengan berbagai cara termasuk melalui motif ekstrinsik. Misalnya dengan memberikan pekerjaan rumah yang secara tidak langsung peserta didik akan belajar dengan sendirinya. Timbulkanlah sikap ingin tahu (coriousity) peserta didik dalam kegiatan ilmiah, sehingga mereka terangsang untuk sadar belajar dan belajar.

Expectancy (memberikan dan menimbulkan harapan)

Expectancy adalah suatu keyakinan yang secara seketika timbul untuk terpenuhinya suatau harapan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Pengajar yang arif dan bijaksana akan mampu memberikan harapan akan berhasil kepda peserta didiknya yang bodoh dalam kegiatan belajar, yaitu dengan mengatakan : "sebenarnya dalam pandangan bapak, kamu tidaklah bodoh, tinggal usahamu yang harus lebih serius dan sungguh-sungguh. Jika kamu lebih bersungguh-sungguh, bapak percaya dan yakin kamu bisa seperti temanmu yang lain." Ungkapan tersebut dapat menjadi pemicu ia akan lebih rajin dan sungguh-sungguh dalam belajar.

Tapi sebaliknya jika kita mengatakan : "Kalau begini caramu belajar, saya yakin kamu tahun depan akan tinggal kelas." Bagi murid yang lemah mentalnya, kata-kata demikian akan mematikan gairah belajarnya.

Incentives (dorongan semangat atau memberikan sesuatu)

Incentive adalah memberikan dorongan semangat atau sesuatu sebagai penghargaan kepada peserta didik. Insentif mengandung dua unsur positif dan negatif. Unsur positifnya adalah insentif bagi sebagian peserta didik dapat memacu untuk giat dalam belajar dan melakukan kompetisi dengan sesamany. Dan unsur negatifnya adalah insentif dapat pula melemahkan semangat sebagian peserta didik yang secara nyata berada dibawah rata-rata,
karena pada awlnya telah terjadi dalam dirinya rasa putus asa dan pasti kalah dari teman-temannya, dan tidak berusaha berbuat lebih aktif.
Untuk mengatasi keadaan belajar yang bersifat dua bentuk ini, maka insentif yang diberikan tidak selalu dalam bentuk materi, tapi dapat berupa kata-kata yang menyejukkan, sentuhan berupa gosokan tangan guru atau pengajar di punggung peserta didik yang lemah dalam belajar (underachiever), senyuman yang dapat mendrong dan menjadikannya sebagai motivasi.

Punishment (hukuman)

Ricard L. Solomon dalam bukunya Punishment (1964) mendefinisikan punishment adalah perangsang yang menyebabkan peserta didik atau seseorang menghindarkan diri darinya atau menjauhinya. Menurut Solomon, bahwa pengaruh hukuman besar sekali terhadap sikap belajar peserta didik, karena umumnya mereka akan berupaya tidak memperoleh hukuman bila hasil belajarnya tidak baik. Secara psikologi semua manusia tidak senang dan menghindarkan diri dari hukuman.
Yang penting adalah hindari memberikan hukuman yang dapat membuat peserta didik cedera. Oleh karena itu hukuman fisik dianjurkan untuk tidak dilakukan, karena dapat merugikan kedua belah pihak, yaitu guru atau pengajar sebagai pemberi hukuman dan peserta didik sebagai penerima hukuman. Kelemahan hukuman antara lain adalah dapat menyebabkan peserta didik yang kurang percaya diri akan menjadi penakut, waswas, malu, merasa rendah dri atau bahkan mungkin yang berbakat nakal akan bertambah naka, karena peserta didik tersebut merasa menjadi kambing hitamdalam kelas. Maka hukuman diberikan jika tidak ada jalan lain lagi yang tepat ditempuh dan telah dipertimbangkan dengan masak-masak.

Secara umum dapat dikatakan, bahwa arousal dapat menghasilkan kegiatan belajar yang diinginkan. Harapan (expectancy) yang wajar ini tentu memerlukan perangsang dari guru atau pengajar dengan berbagai informasi dan contoh-contoh yang diambil dari kenyataan empiri, terutama dari orang-orang sukses. Dorongan (incentives) dengan berbagai cara sangat membantu mendorong peserta didik untuk belajar lebih giat, insentif yang diberikan tidak harus dalam bentuk materi, tapi yang lebig efektif adalah berbentuk motivasi psikis, suri tauladan dan contoh-contoh yang bersifat fungsional. Demikian pula halnya dengan hukuman (punishment) tidak selalu dalam bentuk hukuman fisik atau memberi tugas tambahan yang lebih berat tapi dapat berupa tatapan mata, kerlingan mata, gerakan tangan yang mengisyaratkan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan tidak benar.

Semua jenis motivasi yang dikemukakan di atas bertujuan untuk meningkatkan kualitas belajar peserta didik untuk mencapai tujuan akhir belajar, yaitu semua ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan kepada mereka akhirnya menjadi milik mereka atau menjadi kebutuhan bagi mereka untuk menambah, mengayakan dan melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi.

Dari semua penjelasan diatas baik motif maupun motivasi, kita sebagai guru atau pengajar bisa mengetahui apa motif peserta didik datang ke sekolah atau ke kampus, apakah memang benar-benar untuk belajar atau yang lainnya. Maka kita sudah tahu bagaimana harus memberikan motivasi kepada peserta didik sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya atau mungkin ada cara lain yang cocok untuk memotivasi peserta didik.

Rabu, 24 Desember 2008

Berpikir

Mengenai soal berpikir ini terdapat beberapa pendapat, diantaranya ada yang menganggap sebagai suatu proses asosiasi saja; pandangan semacam ini dikemukakan oleh kaum Asosiasionist. Sedangkan Kaum Fungsionalist memandang berpikir sebagai suatu proses penguatan hubungan antara stimulus dan respons.

Diantaranya ada yang mengemukakan bahwa berpikir merupakan suatu kegiatan psikis untuk mencari hubungan antara dua objek atau lebih. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117). Sedangkan menurut Drever (dalam Walgito, 1997 dikutip Khodijah, 2006:117) berpikir adalah melatih ide-ide dengan cara yang tepat dan seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Solso (1998 dalam Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah.

Dari pengertian tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan dasar tentang berpikir, yaitu :
(1) berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku,
(2) berpikir merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif,
(3) berpikir diarahkan dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan pada solusi.

Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52 dalam http://www.andragogi.com) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis. Kemampuan berfikir pada manusia sifatnya alamiah. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang relatif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang "selengkapnya" tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ini akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
Tujuan berpikir adalah memecahkan permasalahan tersebut. Karena itu sering dikemukakan bahwa berpikir itu adalah merupakan aktifitas psikis yang intentional, berpikir tentang sesuatu. Di dalam pemecahan masalah tersebut, orang menghubungkan satu hal dengan hal yang lain hingga dapat mendapatkan pemecahan masalah.

Jenis, Tipe, dan Pola Berpikir

Ada berbagai jenis dan tipe berpikir. Morgan dkk. (1986, dalam Khodijah, 2006: 118) membagi dua jenis berpikir, yaitu berpikir autistik dan berpikir langsung.

Berpikir autistik (autistic thinking)
yaitu proses berpikir yang sangat pribadi menggunakan simbol-simbol dengan makna yang sangat pribadi, contohnya mimpi.

Berpikir langsung (directed thinking)
yaitu berpikir untuk memecahkan masalah.

Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah, 2006:118) ada enam pola berpikir, yaitu:
1. Berpikir konkrit, yaitu berpikir dalam dimensi ruang, waktu, dan tempat tertentu
2. Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa dibesarkan atau disempurnakan keluasannya.
3. Berpikir klasifikatoris, yaitu berpikir menganai klasifikasi atau pengaturan menurut kelas-kelas tingkat tertentu.
4. Berpikir analogis, yaitu berpikir untuk mencari hubungan antarperistiwa atas dasar kemiripannya.
5. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.
6. Berpikir pendek, yaitu lawan berpikir ilmiah yang terjadi secara lebih cepat, lebih dangkal dan seringkali tidak logis.

Sedangkan menurut De Bono (1989 dalam Khodijah, 2006:119) mengemukakan dua tipe berpikir, sebagai berikut.

1.Berpikir vertikal (berpikir konvergen)yaitu tipe berpikir tradisional dan generatif yang bersifat logis dan matematis dengan mengumpulkan dan menggunakan hanya informasi yang relevan.

2.Berpikir lateral (berpikir divergen)yaitu tipe berpikir selektif dan kreatif yang menggunakan informasi bukan hanya untuk kepentingan berpikir tetapi juga untuk hasil dan dapat menggunakan informasi yang tidak relevamn atau boleh salah dalam beberapa tahapan untuk mencapai pemecahan yang tepat.

Proses Berpikir

Proses atau jalannya berpikir itu pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu :

1. Pembentukan Pengertian

Pengertian, atau lebih tepatnya disebut pengertian logis di bentuk melalui tiga tingkatan, sebagai berikut:

a. Menganalisis ciri-ciri dari sejumalah obyek yang sejenis. Obyek tersebut kita perhatikan unsur - unsurnya satu demi satu. Misalnya maupun membentuk pengertian manusia. Kita ambil manusia dari berbagai bangsa lalu kita analisa ciri-ciri misalnya :
Manusia Indonesia, ciri - cirinya :
* Mahluk hidup
* Berbudi
* Berkulit sawo mateng
* Berambut hitam
* Dan sebagainya
Manusia Eropa, ciri - cirinya :
* Mahluk hidup
* Berbudi
* Berkulit Putih
* Berambut pirang atau putih
* Bermata biru terbuka
* Dan sebagainya
Manusia Negro, ciri - cirinya:
* Mahluk hidup
* Berbudi
* Berkulit htam
* Berambut hitam kriting
* Bermata hitam melotot
* Dan sebagainya
Manusia Cina, ciri - cirinya:
* Mahluk Hidup
* Berbudi
* Berkulit kuning
* Berambut hitam lurus
* Bermata hitam sipit
* Dan sebagainya
Dan manusia yang lain - lainnya lagi.

b. Membanding - bandingkan ciri tersebut untuk diketemukan ciri - ciri mana yang sama, mana yang tidak sama, mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu ada mana yang hakiki dan mana yang tidak hakiki.

c. Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, membuang, ciri-ciri yang tidak hakiki, menangkap cirri-ciri yang hakiki. Pada contoh di atas ciri - ciri yang hakiki itu ialah: Makhluk hidup yang berbudi.


2. Pembentukan Pendapat

Membentuk pendapat adalah meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. Pendapat yang dinyatakan dalam bahasa disebut kalimat, yang terdiri dari pokok kalimat atau subyek dan sebutan atau predikat.
Selanjutnya pendapat dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :a. Pendapat Afirmatif atau positif, yaitu pendapat yang menyatakan keadaan sesuatu, Misalnya Sitotok itu pandai, Si Ani Rajin dan sebagainya.b. Pendapat Negatif, Yaitu Pendapat yang menidakkan, yang secara tegas menerangkan tentang tidak adanya seuatu sifat pada sesuatu hal : Misalnya Sitotok itu Bodoh Si Ani Malas dan sebagainya.c. Pendapat Modalitas atau kebarangkalian, Yaitu Pendapat yang menerangkan kebarangkalian, kemungkinan - kemungkinan sesuatu sifat pada sesuatu hal ; misalnya hari ini mungkin hujan, Si Ali Mungkin tidak Datang. Dan sebagainya.

3. Penarikan Kesimpulan atau Pembentukan Keputusan

Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada. Ada 3 macam keputusan, Yaitu

a. Keputusan induktif

yaitu keputusan yang diambil dari pendapat - pendapat khusus menuju ke satu pendapat umum. Misalnya :
Tembaga di panaskan akan memuai
Perak di panaskan akan memuai
Besi di panaskan akan memuai
Kuningan di panaskan akan memuai Jadi (kesimpulan). Bahwa semua logam kalau dipanaskan akan memuai (Umum)

b. Keputusan Deduktif

Keputusan deduktif ditarik dari hal yang umum ke hal yang khusus , Jadi berlawanan dengan keputusan induktif. Misalnya : Semua logam kalau dipanaskan memuai (umum), tembaga adalah logam. Jadi (kesimpulan) : tembaga kalau dipanaskan memuai Contoh lain : Semua manusia terkena nasib mati, Si Karto adalah manusia Jadi pada suatu hari si Karto akan mati.

c. Keputusan Analogis

Keputusan Analogis adalah Keputusan yang diperoleh dengan jalan membandingkan atau menyesuaikan dengan pendapat-pendapat khusus yang telah ada. Misalnya : Totok anak pandai, naik kelas (Khusus). Jadi (kesimpulan) Si Nunung anak yang pandai itu, tentu naik kelas.

Simpulan

1. Secara umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52 dalam http//www psikologi pendidikan.com)) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-perngertian yang terjadi karena adanya masalah.
2. Proses berpikir ada tiga langkah yaitu : (a) Pembentukan Pengertian , atau lebih tepatnya disebut pengertian logis, (b) Pembentukan Pendapat adalah meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. Pendapat yang dinyatakan dalam bahasa disebut kalimat, yang terdiri dari pokok kalimat atau subyek dan sebutan atau predikat, dan (c) Penarikan Kesimpulan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada.

Saran
Setelah mengetahui dari berbagai sumber tentang pengertian berpikir dan proses berpikir pada peserta didik, maka sebagai pendidik hendaknya menerapkan langkah- langkah proses berpikir siswa guna untuk mendapatkan hasil belajar yang betul-betul maksimal.

Selasa, 23 Desember 2008

Belajar

Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.

Penjelasan Definisi

Perubahan akibat belajar dapat terjadi dalam berbagai bentuk perilaku, dari ranah kognitif, afektif, dan/atau psikomotor. Tidak terbatas hanya penambahan pengetahuan saja.
Sifat perubahannya relatif permanen, tidak akan kembali kepada keadaan semula. Tidak bisa diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya.
Perubahannya tidak harus langsung mengikuti pengalaman belajar. Perubahan yang segera terjadi umumnya tidak dalam bentuk perilaku, tapi terutama hanya dalam potensi seseorang untuk berperilaku.
Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah.
Perubahan akan lebih mudah terjadi bila disertai adanya penguat, berupa ganjaran yang diterima - hadiah atau hukuman - sebagai konsekuensi adanya perubahan perilaku tersebut.

Empat Pilar Belajar

Untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan dunia yang sangat cepat, Unesco (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005) merumuskan empat pilar belajar, yaitu: belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar berkembang secara utuh (learning to be).

1. Belajar mengetahui (learning to know)

Belajar mengetahui berkenaan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan informasi. Dewasa ini terdapat ledakan informasi dan pengetahuan. Hal itu bukan saja disebabkan karena adanya perkembangan yang sangat cepat dalam bidang ilmu dan teknologi, tetapi juga karena perkembangan teknologi yang sangat cepat, terutama dalam bidang elektronika, memungkinkan sejumlah besar informasi dan pengetahuan tersimpan, bisa diperoleh dan disebarkan secara cepat dan hampir menjangkau seluruh planet bumi. Belajar mengetahui merupakan kegiatan untuk memperoleh, memperdalam dan memanfaatkan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan berbagai upaya perolehan pengetahuan, melalui membaca, mengakses internet, bertanya, mengikuti kuliah, dll. Pengetahuan dikuasai melalui hafalan, tanya-jawab, diskusi, latihan pemecahan masalah, penerapan, dll. Pengetahuan dimanfaatkan untuk mencapai berbagai tujuan: memperluas wawasan, meningkatakan kemampuan, memecahkan masalah, belajar lebih lanjut, dll.
Jacques Delors (1996), sebagai ketua komisi penyusun Learning the Treasure Within, menegaskan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai alat (mean) dan pengetahuan sebagai hasil (end). Sebagai alat, pengetahuan digunakan untuk pencapaian berbagai tujuan, seperti: memahami lingkungan, hidup layak sesuai kondisi lingkungan, pengembangan keterampilan bekerja, berkomunikasi. Sebagai hasil, pengetahuan mereka dasar bagi kepuasaan memahami, mengetahui dan menemukan.
Pengetahuan terus berkembang, setiap saat ditemukan pengetahuan baru. Oleh karena itu belajar mengetahui harus terus dilakukan, bahkan ditingkatkan menjadi knowing much (berusaha tahu banyak).

2. Belajar berkarya (learning to do)

Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat yang berkembang sangat cepat, maka individu perlu belajar berkarya. Belajar berkarya berhubungan erat dengan belajar mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan. Dalam konsep komisi Unesco, belajar berkarya ini mempunyai makna khusus, yaitu dalam kaitan dengan vokasional. Belajar berkarya adalah balajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan perkembangan industri dan perusahaan, maka keterampilan dan kompetisi kerja ini, juga berkembang semakin tinggi, tidak hanya pada tingkat keterampilan, kompetensi teknis atau operasional, tetapi sampai dengan kompetensi profesional. Karena tuntutan pekerjaan didunia industri dan perusahaan terus meningkat, maka individu yang akan memasuki dan/atau telah masuk di dunia industri dan perusahaan perlu terus bekarya. Mereka harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak).

3. Belajar hidup bersama (learning to live together)

Dalam kehidupan global, kita tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi hidup bersama dan bekerja sama dengan aneka kelompok tersebut. Agar mampu berinteraksi, berkomonikasi, bekerja sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun, mereka harus banyak belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama)

4. Belajar berkembang utuh (learning to be)

Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat kompleks, menuntut pengembangan manusia secara utuh. Manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral. Untuk mencapai sasaran demikian individu dituntut banyak belajar mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Sebenarnya tuntutan perkembangan kehidupan global, bukan hanya menuntut berkembangnya manusia secara menyeluruh dan utuh, tetapi juga manusia utuh yang unggul. Untuk itu mereka harus berusaha banyak mencapai keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat dengan moral yang kuat. Individu-individu global harus berupaya bermoral kuat atau being morally.

Pembelajaran

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun.
Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik.

Persepsi

Persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Proses kognisi dimulai dari persepsi.
Persepsi [perception] merupakan konsep yang sangat penting dalam psikologi, kalau bukan dikatakan yang paling penting. Melalui persepsilah manusia memandang dunianya. Apakah dunia terlihat “berwarna” cerah, pucat, atau hitam, semuanya adalah persepsi manusia yang bersangkutan.

Pembedaan dengan sensasi

Istilah persepsi sering dikacaukan dengan sensasi. Sensasi hanya berupa kesan sesaat, saat stimulus baru diterima otak dan belum diorganisasikan dengan stimulus lainnya dan ingatan-ingatan yang berhubungan dengan stimulus tersebut. Misalnya meja yang terasa kasar, yang berarti sebuah sensasi dari rabaan terhadap meja.
Sebaliknya persepsi memiliki contoh meja yang tidak enak dipakai menulis, saat otak mendapat stimulus rabaan meja yang kasar, penglihatan atas meja yang banyak coretan, dan kenangan di masa lalu saat memakai meja yang mirip lalu tulisan menjadi jelek.
Persepsi harus dibedakan dengan sensasi [sensation]. Yang terakhir ini merupakan fungsi fisiologis, dan lebih banyak tergantung pada kematangan dan berfungsinya organ-organ sensoris. Sensasi meliputi fungsi visual, audio, penciuman dan pengecapan, serta perabaan, keseimbangan dan kendali gerak. Kesemuanya inilah yang sering disebut indera.

Jadi dapat dikatakan bahwa sensasi adalah proses manusia dalam dalam menerima informasi sensoris [energi fisik dari lingkungan] melalui penginderaan dan menerjemahkan informasi tersebut menjadi sinyal-sinyal “neural” yang bermakna. Misalnya, ketika seseorang melihat (menggunakan indera visual, yaitu mata) sebuah benda berwarna merah, maka ada gelombang cahaya dari benda itu yang ditangkap oleh organ mata, lalu diproses dan ditransformasikan menjadi sinyal-sinyal di otak, yang kemudian diinterpretasikan sebagai “warna merah”.

Berbeda dengan sensasi, persepsi merupakan sebuah proses yang aktif dari manusia dalam memilah, mengelompokkan, serta memberikan makna pada informasi yang diterimanya. Benda berwarna merah akan memberikan sensasi warna merah, tapi orang tertentu akan merasa bersemangat ketika melihat warna merah itu.

Jenis-jenis persepsi

Proses pemahaman terhadap rangsang atau stimulus yang diperoleh oleh indera menyebabkan persepsi terbagi menjadi beberapa jenis.
Persepsi visual
Persepsi visual didapatkan dari indera penglihatan.Persepsi ini adalah persepsi yang paling awal berkembang pada bayi, dan mempengaruhi bayi dan balita untuk memahami dunianya.
Persepsi visual merupakan topik utama dari bahasan persepsi secara umum.
Persepsi auditori
Persepsi auditori didapatkan dari indera pendengaran yaitu telinga.
Persepsi perabaan
Persepsi pengerabaan didapatkan dari indera taktil yaitu kulit.
Persepsi penciuman
Persepsi penciuman atau olfaktori didapatkan dari indera penciuman yaitu hidung.
Persepsi pengecapan
Persepsi pengecapan atau rasa didapatkan dari indera pengecapan yaitu lidah.

Prinsip Persepsi

Sebagian besar dari prinsip-prinsip persepsi merupakan prinsip pengorganisasian berdasarkan teori Gestalt. Teori Gestalt percaya bahwa persepsi bukanlah hasil penjumlahan bagian-bagian yang diindera seseorang, tetapi lebih dari itu merupakan keseluruhan [the whole]. Teori Gestalt menjabarkan beberapa prinsip yang dapat menjelaskan bagaimana seseorang menata sensasi menjadi suatu bentuk persepsi.

Prinsip persepsi yang utama adalah prinsip figure and ground. Prinsip ini menggambarkan bahwa manusia, secara sengaja maupun tidak, memilih dari serangkaian stimulus, mana yang menjadi fokus atau bentuk utama [=figure] dan mana yang menjadi latar [=ground].

Dalam kehidupan sehari-hari, secara sengaja atau tidak, kita akan lebih memperhatikan stimulus tertentu dibandingkan yang lainnya. Artinya, kita menjadikan suatu informasi menjadi figure, dan informasi lainnya menjadi ground. Salah satu fenomena dalam psikologi yang menggambarkan prinsip ini adalah, orang cenderung mendengar apa yang dia ingin dengar, dan melihat apa yang ingin dia lihat.

Prinsip Pengorganisasian

Untuk mempersepsi stimulus mana menjadi figure dan mana yang ditinggalkan sebagai ground, ada beberapa prinsip pengorganisasian.

Prinsip proximity

seseorang cenderung mempersepsi stimulus-stimulus yang berdekatan sebagai satu kelompok.
Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang akan mempersepsikan beberapa orang yang sering terlihat bersama-sama sebagai sebuah kelompok / peer group. Untuk orang yang tidak mengenal dekat anggota “kelompok” itu, bahkan akan tertukar identitas satu dengan yang lainnya, karena masing-masing orang [sebenarnya ada 4 lajur titik] terlabur identitasnya dengan keberadaan orang lain [dipersepsi sebagai 2 kelompok titik].

Prinsip similarity

seseorang akan cenderung mempersepsikan stimulus yang sama sebagai satu kesatuan.
Prinsip continuity; prinsip ini menunjukkan bahwa kerja otak manusia secara alamiah melakukan proses melengkapi informasi yang diterimanya walaupun sebenarnya stimulus tidak lengkap.
Dalam kehidupan sehari-hari, contohnya adalah fenomena tentang bagaimana gosip bisa begitu berbeda dari fakta yang ada. Fakta yang diterima sebagai informasi oleh seseorang, kemudian diteruskan ke orang lain setelah “dilengkapi” dengan informasi lain yang dianggap relevan walaupun belum menjadi fakta atau tidak diketahui faktanya.

Determinan Persepsi

Di samping faktor-faktor teknis seperti kejelasan stimulus [mis. suara yang jernih, gambar yang jelas], kekayaan sumber stimulus [mis. media multi-channel seperti audio-visual], persepsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis. Faktor psikologis ini bahkan terkadang lebih menentukan bagaimana informasi / pesan / stimulus dipersepsikan.

Faktor yang sangat dominan adalah faktor ekspektansi dari si penerima informasi sendiri. Ekspektansi ini memberikan kerangka berpikir atau perceptual set atau mental set tertentu yang menyiapkan seseorang untuk mempersepsi dengan cara tertentu. Mental set ini dipengaruhi oleh beberapa hal.

Ketersediaan informasi sebelumnya; ketiadaan informasi ketika seseorang menerima stimulus yang baru bagi dirinya akan menyebabkan kekacauan dalam mempersepsi. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan misalnya, ada materi pelajaran yang harus terlebih dahulu disampaikan sebelum materi tertentu. Seseorang yang datang di tengah-tengah diskusi, mungkin akan menangkap hal yang tidak tepat, lebih karena ia tidak memiliki informasi yang sama dengan peserta diskusi lainnya. Informasi juga dapat menjadi cues untuk mempersepsikan sesuatu.

Kebutuhan; seseorang akan cenderung mempersepsikan sesuatu berdasarkan kebutuhannya saat itu. Contoh sederhana, seseorang akan lebih peka mencium bau masakan ketika lapar daripada orang lain yang baru saja makan.

Pengalaman masa lalu; sebagai hasil dari proses belajar, pengalaman akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan sesuatu. Pengalaman yang menyakitkan ditipu oleh mantan pacar, akan mengarahkan seseorang untuk mempersepsikan orang lain yang mendekatinya dengan kecurigaan tertentu. Contoh lain yang lebih ekstrim, ada orang yang tidak bisa melihat warna merah [dia melihatnya sebagai warna gelap, entah hitam atau abu-abu tua] karena pernah menyaksikan pembunuhan. Di sisi lain, ketika seseorang memiliki pengalaman yang baik dengan bos, dia akan cenderung mempersepsikan bosnya itu sebagai orang baik, walaupun semua anak buahnya yang lain tidak senang dengan si bos.

Faktor psikologis lain yang juga penting dalam persepsi

Emosi; akan mempengaruhi seseorang dalam menerima dan mengolah informasi pada suatu saat, karena sebagian energi dan perhatiannya [menjadi figure] adalah emosinya tersebut. Seseorang yang sedang tertekan karena baru bertengkar dengan pacar dan mengalami kemacetan, mungkin akan mempersepsikan lelucon temannya sebagai penghinaan.

Impresi; stimulus yang salient / menonjol, akan lebih dahulu mempengaruhi persepsi seseorang. Gambar yang besar, warna kontras, atau suara yang kuat dengan pitch tertentu, akan lebih menarik seseorang untuk memperhatikan dan menjadi fokus dari persepsinya. Seseorang yang memperkenalkan diri dengan sopan dan berpenampilan menarik, akan lebih mudah dipersepsikan secara positif, dan persepsi ini akan mempengaruhi bagaimana ia dipandang selanjutnya.

Konteks; walaupun faktor ini disebutkan terakhir, tapi tidak berarti kurang penting, malah mungkin yang paling penting. Konteks bisa secara sosial, budaya atau lingkungan fisik. Konteks memberikan ground yang sangat menentukan bagaimana figure dipandang. Fokus pada figure yang sama, tetapi dalam ground yang berbeda, mungkin akan memberikan makna yang berbeda.

Senin, 22 Desember 2008

Konsep Manusia

Konsep Psikologis manusia

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan
obyek sekaligus. Menusia berfikir dan merenung, kemudian menjadikan
dirinya sebagai obyek fikiran dan renungan.. Manusia sangat menarik
di mata manusia itu sendiri. Terkadang manusia dipuja, tetapi di kala
yang lain ia dihujat. Secara internal manusia sering merasa bangga dan
bahagia menjadi manusia, tetapi di mata orang lain atau di waktu yang
lain, ia terkadang menyesali diri sendiri, menyesali keberadaannya
sebagai manusia.

Ada manusia yang perilakunya berada di luar batas perikemanusiaan,
tetapi ada juga manusia yang begitu tinggi tingkat kemanusiaannya
sehingga ia disebut sebagai "manusia suci". Pada umumnya manusia
tertarik untuk bertanya tentang dirinya ketika berada dalam puncak-
puncak kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keberhasilan dan puncak
kegagalan. Ada kesepakatan pandangan, bahwa betapapun manusia terdiri
dari jiwa dan raga, tetapi penilaian tentang kualitas manusia
terfokus pada jiwanya, terkadang disebut hatinya, karena hakikat
manusia adalah jiwanya..

Dalam sejarah keilmuan, lahirnya filsafat, antropologi, psikologi,
ekonomi dan politik sesungguhnya juga merupakan upaya mencari jawaban
tentang manusia, tetapi khusus tentang jiwa manusia, ia dibahas
oleh filsafat, psikologi dan agama.

Psikologi sebagai disiplin ilmu baru lahir pada akhir abad 18 Masehi,
tetapi akarnya telah menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitif
ummat manusia. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya,
tubuhnya hanya sekedar alat saja. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa
adalah fungsi dari badan sebagaimana penglihatan adalah fungsi dari
mata. Hinga kini sekurang-kurangnya ada empat mazhab psikologi, yakni
(1)Psikoanalisa, (2) Behaviorisme, (3) Kognitif dan (4) Humanisme.
Empat mazhab itu menggambarkan adanya dinamika pemahaman terhadap
manusia yang sifatnya trial and error.

Freud dengan teori psikoanalisanya memandang manusia sebagai homo
volens, yakni makhluk yang perilakunya dikendlikan oleh alam bawah
sadarnya. Menurut teori ini, perilaku manusia merupakan hasil
interaksi dari tiga pilar kepribadian; id, ego dan super ego, yakni
komponen biologis, psikologis dan social, atau komponen hewani,
intelek dan moral.

Teori ini dibantah oleh Behaviorisme yang memandang perilaku manusia
bukan dikendalikan oleh factor dalam (alam bawah sadar) tetapi
sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang nampak,y ang terukur,
dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia disebut
sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang
bekerja tanpa ada motiv di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh
factor obyektip (bahan baker, kondisi mesin dsb). Manusia tidak
dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa
dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami
atau yang dipersiapkan untuknya.

Teori ini dibantah lagi oleh teori Kognitif yang menyatakan bahwa
manusia tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan, tetapi ia bisa
aktif bereaksi secara aktif terhadap lingkungan dengan cara
berfikir. Manusia berusaha memahami lingkungan yang dihadapi dan
merespond dengan fikiran yang dimiliki. Oleh karena itu menurut teori
Kognitif, manusia disebut sebagai homo sapiens, makhluk yang berfikir.

Teori Kognitif dilanjutkan oleh teori Humanisme. Psikologi Humanistik
memandang manusia sebagai eksistensi yang positip dan menentukan.
Manusia adalah makhluk yang unik, memiliki cinta, krestifitas, nilai
dan makna serta pertumbuhan pribadi. Oleh karena itu teori Humanisme
menyebut manusia sebagai homo ludens, yakni manusia yang mengerti
makna kehidupan. Psikologi Humanistik sudah mulai meraba-raba wilayah yang
sumbernya dari wahyu, yakni disamping membahas kecerdasan intelektual
dan emosional, juga dibahas kecerdasan spiritual.


Konsep Manusia dalam al-Qur’an

Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas.
Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa.
Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.

Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.
Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Q.S Al-Baqarah:34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya.
Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa.
Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian,
ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.

Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.

Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….” (Q.S Al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan.
Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (Q.S Al-Baqarah : 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.

Unsur-unsur dalam diri manusia

Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Q.S As-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an

Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.
Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”
Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.

Kesimpulan

Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu dengan menuruti hawa nafsu dalam dirinya.
Allah selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan sangatlah merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak berbakti kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak di situ. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap ini (keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati pada akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia tetap menjadi milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka, merugilah ia.

Faktor-Faktor Pembawaan dan Lingkungan

Kita membicarakan hal yang sangat penting dalam psikologi dan sangat erat hubungannya dengan ilmu pendidikan, yaitu suatu pembawaan dan lingkungan.
Soal pembawaan ini adalah soal yang sangat tidak mudah dan dengan demikian memerlukan penjelasan, dan uraian yang tidak sedikit. Telah bertahun-tahun lamanya para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi dan lain-lain memikirkan dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan : perkembangan manusia tergantung pada pembawaan ataukah lingkungan atau dengan kata lain perkembangan anak muda hingga menjadi dewasa, faktor-faktor yang menentukan itu, kadang-kadang yang dibawa dari keturunan, pembawaan ataukah pengaruh-pengaruh lingkungan ada beberapa pendapat.

a. Aliran Nativisme

Aliran ini berpendapat bahwa segala perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir. Pendidikan tidak bisa mengubah sifat-sifat pembawaan. Salah satu perbedaan dasar individu adalah latar belakang hereditas masing-masing individu. Hereditas dapat diartikan sebagai pewaris atau pemindah biologis, karakteristik individu dari pihak orang tuanya.

b. Aliran Empirisme

Aliran ini mempunyai pendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa, itu sama sekali ditentukan oleh lingkungannya. Sejak atau oleh pendidik dan pengalamannya sejak kecil, manusia dapat dididik apa saja/kearah yang lebih yang baik maupun kearah yang buruk.
Aliran teori ini dalam lapangan pendidikan menimbulkan pandangan yang otomistis yang memandang bahwa pendidikan merupakan usaha yang cukup mampu untuk membentuk pribadi manusia. Teori ini sering disebut dengan “Tabularasa” yang memandang bahwa keturunan itu mempunyai peranan.

C. Hukum Konvergensi

Hukum ini berasal dari ahli psikologi bangsa Jerman bernama William Stern. Ia berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan kedua-duanya menentukan perkembangan manusia, dari duah buah faktor perkembangan dan lingkungan. Kedua hal tersebut itu kita renungkan benar-benar, belum tepatlah kiranya hal itu diperuntukkan bagi perkembangan manusia, hasil dari proses alam, yaitu pembawaan dan lingkungan belaka.
Tetapi perkembangan manusia itu bukan hasil belaka dari pembawaannya dan lingkungannya. Manusia itu tidak hanya diperkembangkan tetapi iya memperkembangkan dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk.
Proses perkembangan manusia tidak hanya oleh faktor pembawaan yang telah ada pada orang itu dan faktor lingkungannya yang mempengaruhi orang itu. Aktivitas manusia itu sendiri dalam pekembangannya turut menentukan atau memainkan peranan juga.

Pembawaan dan Keturunan

a. Keturunan

Kita dapat mengatakan bahwa sifat-sifat atau ciri-ciri pada seorang anak adalah keturunan, jika sifat-sifat atau ciri-ciri tersebutdiwariskan atau diturunkan melalui sel-sel kelamin dari generasi yang lain. Yaitu ada dua syarat :
v Persamaan sifat atau ciri-ciri, dan
v Ciri-ciri ini harus menurun melaui sel-sel kelamin.
Mungkin juga sifat-sifat itu diwarisi dari nenek moyang atau buyutnya.

b. Pembawaan

1. Agar lebih jelas lagi pengertian kita tentang keturunan dan bagaimana hubungannya atau adakah perbedaannya antara turunan dengan pembawaan, inilah uraiannya, dapat kita katakan bahwa yng dimaksud dengan pembawaan ialah semua kesanggupan-kesanggupan yang dapat diwujudkan.
Pembawaan atau bakat terkandung dalam sel-benih (kiem-cel), yaitu keseluruhan kemungkinan-kemungkinan yang ditentukan oleh keturunan, inilah yang dalam arti terbatas kita namakan pembawaan (aanleg).

2. Struktur Pembawaan
Disamping kita memahami bahwa pembawaan yang bermacam-macam yang ada pada anak itu tidak dapat kita amati, jadi belum dapat dilihat sebelum pembawaan itu menyatakan diri dalam perwujudannya (dari potential ability menjadi actual ability), kita hendaklah selalu ingat bahwa sifat-sifat dalam pembawaan (potensi-potensi) itu seperti : potensi untuk belajar ilmu pasti, berkata-kata, intelijensi yang baik dan lain-lain merupakan struktur pembawaan anak-anak.

3. Di muka telah dikatakan bahwa pembawaan ialah seluruh kemungkinan yang terkandung dalam sel-benih yang akan berkembang mencapai perwujudannya.
Pembawaan (yang dibawa anak sejak lahir) adalah potensi-potensi yang aktif dan pasif, yang akan terus berkembang hingga mencapai perwujudannya.

4. Pembawaan dan Bakat
Sebenarnya kedua istilah itu – pembawaan dan bakat adalah dua istilah yang sama maksudnya. Umumnya dalam psikologi kita dapti kedua istilah itu sejajar, sama-sama dipakai untuk satu pengertian, yaitu pembawaan (aanleg). Untuk menggantikan kata aanleg kedua istilah tersebut di atas dapat digunakan sama-sama dengan maksud sama pula.

Beberapa Macam Pembawaan dan Pengaruh Keturunan

a. Perlu pula kiranya kita singgung sedikit beberapa macam pembawaan berikut :

1. Pembawaan jenis
Tiap-tiap manusia biasa diwaktu lainnya telah memiliki pembawaan jenis, yaitu jenis manusia. Bentuk badannya, anggota-anggota tubuhnya, intelijensinya, ingatannya dan sebagainya semua itu menunjukkan ciri-ciri yang khas, dan berbeda dengan jenis-jenis makhluk lain.

2. Pembawaan Ras
Dalam jenis manusia pada umumnya masih terdapat lagi bermacam-macam perbedaan yang juga termasuk pembawaan keturunan, yaitu pembawaan keturunan mengenai ras.

3. Pembawaan Jenis Kelamin
Setiap manusia yang normal sejak lahir telah membawa pembawaan jenis kelamin masing-masing.

4. Pembawaan Perseorangan
Kecuali pembawaan-pembawaan terebut diatas, tiap orang sendiri-sendiri (individu) memiliki pembawaan yang bersifat individual (pembawaan perseorangan)yang tipikal, banyak ditentukan oleh keturunan ialah pembawaan ras, pembawaan jenis dan pembawaan kelamin.
v Konstitusi tubuh : termasuk didalamnya : motorik, seperti sikap badan, sikap berjalan, air muka, gerakan bicara.
v Cara bekerja alat-alat indra : ada orang yang lebih menyukai beberapa jenis perangsang tertentu yang mirip dengan kesukaan yang dimilikioleh ayah atau ibunya.
v Sifat-sifat ingatan dan kesanggupan belajar.
v Tipe-tipe perhatian, intelijensi kosien (IQ) serta tipe-tipe intelijensi.
v Cara-cara berlangsungnya emosi-emosi yang khas.
v Tempo dan ritme perkembangan (ingat pelajaran psikologi perkembangan)


Lingkungan (environment)

Macam-macam lingkungan dan bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya.
v Macam-macam lingkungan
Lingkungan (environment) ialah meliputi semua kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan, perkembangan atau life process kita kecuali gen-gen.

Menurut Sertain lingkungan itu dapat dibagi menjadi 3 bagian sebagai berikut :
1) Lingkungan alam/luar (eksternal or physical environment)
2) Lingkungan dalam (internal environment), dan
3) Lingkungan sosial/masyarakat (social environment)

v Bagaimana Individu Berhubungan Dengan Lingkungan?
Kepribadian adalah organisasi dinamis daripada sistem psikofisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik (khas).
Dari rumusan /definisi tersebut jelas bahwa kepribadian manusia tidak dapat dirumuskan sebagai suatu keseluruhan atau kesatuan individu saja, tanpa sekaligus meletakkan hubungannya dengan lingkungannya.

Menurut woodworth, cara-cara individu itu berhubungan dengan lingkungannya dapat dibedakan menjadi 4 macam :
1) Individu bertentangan dengan lingkungannya,
2) Individu menggunakan lingkungannya,
3) Individu berpartisipasi dengan lingkungannya, dan
4) Individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Individu itu senantiasa berusaha untuk “ menyesuaikan diri “ (dalam arti luas) dengan lingkungannya.
Dalam arti yang luas menyesuaikan diri itu berarti :
1) Mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan (penyesuaian autoplastis)
2) Mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri penyesuaian diri alloplastis.

Kesimpulan
Bahwa semua yang berkembang dalam diri suatu individu ditentukan oleh pembawaan dan juga oleh lingkungannya dan adapula lebih ditentukan oleh pembawaannya.
Nativisme mengatakan bahwa pendidikan tidak bisa mengubah pembawaan. Bila dilihat dari kedua teori yang bertentangan satu dengan yang lainnya.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan jalan perkembangan manusia sedikit banyak ditentukan oleh pembawaan yang turun temurun oleh aktifitas atau penentuan manusia sendiri yang dilakukan dengan bebas di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan tertentu berkembang menjadi sifat-sifat.
Tetapi ada teori konvergensi yang merupakan teori gabungan baik pembawaan maupun pengalaman lingkungan mempunyai peranan penting di dalam perkembangan individu.
Perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor bawaan sejak lahir (endogen).

Aliran - Aliran Dalam Psikologi

A. Behaviourisme

Aliran ini sering dikatkan sebagai aliran ilmu jiwa namun tidak peduli pada jiwa. Pada akhir abad ke-19, Ivan Petrovic Pavlov memulai eksperimen psikologi yang mencapai puncaknya pada tahun 1940 – 1950-an. Di sini psikologi didefinisikan sebagai sains dan sementara sains hanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat dan diamati saja. Sedangkan ‘jiwa’ tidak bisa diamati, maka tidak digolongkan ke dalam psikologi.
Aliran ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus) yang dapat dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning). Sikap yang diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan maladaptive behaviour atau perilaku menyimpang. Salah satu contoh adalah ketika Pavlov melakukan eksperimen terhadap seekor anjing. Di depan anjing eksperimennya yang lapar, Pavlov menyalakan lampu. Anjing tersebut tidak mengeluarkan air liurnya. Kemudian sepotong daging ditaruh dihadapannya dan anjing tersebut terbit air liurnya. Selanjutnya begitu terus setiap kali lampu dinyalakan maka daging disajikan. Begitu hingga beberapa kali percobaan, sehingga setiap kali lampu dinyalakan maka anjing tersebut terbit air liurnya meski daging tidak disajikan. Dalam hal ini air liur anjing menjadi conditioned response dan cahaya lampu menjadi conditioned stimulus.
Percobaan yang hampir sama dilakukan terhadap seorang anak berumur 11 bulan dengan seekor tikus putih. Setiap kali si anak akan memegang tikus putih maka dipukullah sebatang besi dengan sangat keras sehingga membuat si anak kaget. Begitu percobaan ini diulang terus menerus sehingga pada taraf tertentu maka si anak akan menangis begitu hanya melihat tikus putih tersebut. Bahkan setelah itu dia menjadi takut dengan segala sesuatu yang berbulu: kelinci, anjing, baju berbulu dan topeng Sinterklas.
Ini yang dinamakan pelaziman dan untuk mengobatinya kita bisa melakukan apa yang disebut sebagai kontrapelaziman (counterconditioning).

B. Psikoanalisa

Aliran behaviourisme dianggap gagal karena tidak memperhitungkan faktor kesadaran manusia. Aliran behaviourisme tidak memperhitungkan faktor pengalaman subjektif masing-masing individu (cinta, keberanian, keimanan, harapan dan putus asa). Jadi aliran ini gagal memperhitungkan kesadaran manusia dan motif-motif tidak sadarnya.
Kemudian muncullah aliran berikut: psikoanalisis. Psikoanalisis disebut sebagai depth psychology yang mencoba mencari sebab-sebab perilaku manusia pada alam tidak sadarnya. Tokoh dari aliran ini adalah Sigmund Freud seorang neurolog berasal dari Wina, Austria akhir abad ke-19. Aliran ini berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang berkeinginan (homo volens).
Dalam pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa kea lam tidak sadar (unconscious). Di alam tidak sadar inilah tinggal dua struktur mental yang ibarat gunung es dari kepribadian kita, yaitu:
a.Id, adalah berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata.
b.Superego, adalah berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari lingkungannya.
c.Ego, adalah pengawas realitas.
 Sebagai contoh adalah berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang diserahi mengelola uang sebesar 1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan pada Anda: “Pakai saja uang itu sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego berkata:”Cek dulu, jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego menegur:”Jangan lakukan!”.
Pada masa kanak-kanak kira dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada tahap ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking. Anak-anak akan mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan kebutuhannya (bayi akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya).
Sedangkan ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih tua dan pada orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process thinking. Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap untuk memilih tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu kadangkala pada orang dewasa muncul sikap seperti primary process thnking, yaitu mencari pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa jengkel akibat dimarahi bos di kantor misalnya).
Proses pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient), sedangkan proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses ketiga adalah SQ (spiritual quotient).

C. Humanistis

Aliran ini muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis. Kedua aliran ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau makhluk yang rendah.
Salah satu tokoh dari aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan mengatakan bahwa Freud hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Adalah Viktor Frankl yang mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos = makna). Pandangan ini berprinsip:
a.    Hidup memiliki makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b.    Tujuan hidup kita yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c.    Kita memiliki kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa yang kita alami bahkan dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl mengembangkan teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana dia mengalami dan menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Dia menyaksikan dua hal yang berbeda, yaitu para tahanan yang putus asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar biasa serta daya hidup yang perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang memberi makna pada hidupnya.
Logoterapi ini sangat erat kaitannya dengan SQ tadi, yang bisa kita kelompokkan berdasarkan situasi-situasi berikut ini:
a.    Ketika seseorang menemukan dirinya (self-discovery). Sa’di (seorang penyair besar dari Iran) menggerutu karena kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di Damaskus. Namun di tengah kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang penceramah yang berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya bahwa penceramah tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia disadarkan, bahwa mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang yang masih bisa tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.
b.    Makna muncul ketika seseorang menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika seseorang tak dapat memilih. Sebagai contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari Yogyakarta menuju Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan kembali makna hidupnya.
c.    Ketika seseorang merasa istimewa, unik dan tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat jelata tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun. Demikian juga ketika kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita dengan penuh perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.
d.    Ketika kita dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh di atas, seorang bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan berhasil menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk memuaskan keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara mengalami makna yang luar biasa dalam hidupnya.
e.    Ketika kita mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri kita sekarang). Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada kehidupan kita.

D. Transpersonal

Aliran psikologi Transpersonal ini dikembangkan oleh tokoh psikologi humanistic antara lain : Abraham Maslow, Antony Sutich, dan Charles Tart. Sehingga boleh dikatakan bahwa aliran ini merupakan perkembangan dari aliran humanistic. Sebuah definisi kekemukakan oleh Shapiro yang merupakan gabungan dari pendapat tentang psikologi transpersonal : psikologi transpersonal mengkaji tentang poitensi tertinggi yang dimiliki manusia, dan melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari kesatuan, spiritualitas, serta kesadaran transendensi.
Menurut Maslow pengalaman keagamaan meliputi peak experience, plateu, dan farthes reaches of human nature. Oleh karena itu psikologi belum sempurna sebelum memfokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Maslow menulis (dalam Zohar, 2000). "I should say also that I consider Humanistic, Third Force psychology, to be trantitional, a preparation for still higher Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman centered in the cosmos rather than in human needs and interest, going beyond humanness, identity, self actualization, and the like".
Psikologi transpersonal lebih menitikberatkan pada aspek-aspek spiritual atau transcendental diri manusia. Hal inilah yang membedakan konsep manusia antara psikologi humanistic dengan psikologi transpersonal. McWaters (dalam Nusjirwan, 2001) membuat sebuah diagram yang berbentuk lingkaran dimana setiap lingkaran mewakili satu tingkat berfungsinya menusia dan tingkat kesadaran diri manusia.

Minggu, 21 Desember 2008

Pengertian, sejarah, ruang lingkup, dan metode psikologi islam

A. Pengertian

Psikologi islam adalah : Corak psikologi berdasarkan citra manusia menurut ajaran islam untuk mempelajari pola keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam kerohaniahan dengan tujuan mengembangkan kesehatan mental dan meningkatkan kualitas keberagamaan.

B. Sejarah lahirnya psikologi islam di indonesia

Di tengah isyu Islamisasi sains, Psikologi Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai disiplin ilmu yang relatif muda, Psikologi Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembentukan pribadi manusia ideal (insan kamil). Karena kita sadari, Psikologi Barat (modern) ternyata tidak bisa memberikan jawaban secara lebih utuh terhadap problem-problem manusia yang begitu unik. Bagi Psikologi Barat, manusia hanya diletakkan dalam tinjauan yang bersifat egosentris, sedangkan manusia itu sendiri memiliki rangkaian kemanusiannya yang lebih lengkap, yaitu jasad (tubuh), ruh, nafs (jiwa) dan qalb (hati). Jika manusia hanya ditinjau dari satu sisi saja, maka sosok manusia tidak akan pernah terpotret secara utuh.
Oleh karena itu, kehadiran Psikologi Islam sebagai mazhab kelima menjadi keniscayaan. Terlepas masih pro-kontra penamaan Psikologi Islam maupun Psikologi Islami dan sebagainya, Psikologi Islam menjadi lahan ”ijtihad intelektual” yang tidak pernah habis. Bahwa Psikologi Islam dituduh sebagai tidak memiliki bangunan ilmiah, itu urusan yang menuduh. Bisa karena mereka memiliki tendensi tertentu atau mungkin belum mengkaji Islam secara lebih mendalam. Namun, yang jelas, Psikologi Islam mendasarkan kerangka teori dan bangunan penelitian didasarkan pada nilai-nilai Alquran, Hadits dan warisan (turats) intelektual Islam masa lalu.
Sejarah lahirnya psikologi islam diawali pada tahun 1976 yang berasal dari kesimpulan Prof. Kadir Yahya yang menyatakan bahwa psikologi itu suatu pedoman, tetapi tasawuf adalah ruhnya. Kemudian pada tahun 1979 Fuad Nashori mempresentasikan tentang “psikologi agamawi” yang mengintegrasikan konsep manusia dan psikologi tasawuf islam. Dan pada tahun 1992 beliau menulis di jurnal Ulumul Qur'an yang mengungkapkan tentang Islamisasi sains dan psikologi sebagai fokus telaah. Pada tahun 1994 diadakan simposium nasional psikologi islam di UMS dan telah menghasilkan rumusan tentang adanya Ilmu Psikologi Islam.
Konsep sains dan Agama
1.Similarisasi = menyamakan
ex. jiwa (science)
ruh (agama)
2.Paralelisasi = menganggap sejajar konsep sains dengan agama
3.Komplementasi = Saling mengisi danmemperkuat satu sama lain dan msih tetap mempertahankan prinsip masing-masing.
4.Komparasi = membandingkan
5.Induktifikasi = asumsi dasar dari teori ilmiah yang didukung penemuan empirik dilanjutkan teoritis abstrak ke arah pemikiran metafisis kemudian dihubungkan dengan prinsip agama.
6.Verifikasi = mengungkapkan hasil penelitian yang menunjang dan membuktikan kebenaran ayat-ayat al-qur'an.

C. Perbedaan Psikologi Barat dengan Psikologi Islam

1. jika Psikologi Barat merupakan produk pemikiran dan penelitian
empiric, Psikologi Islam , sumber utamanya adalah wahyu Kitab Suci Al
Qur'an, yakni apa kata kitab suci tentang jiwa, dengan asumsi bahwa
Alloh SWT sebagai pencipta manusia yang paling mengetahui anatomi
kejiwaan manusia. Selanjutnya penelitian empiric membantu menafsirkan
kitab suci.

2. Jika tujuan Psikologi Barat hanya tiga; menguraikan, meramalkan
dan mengendalikan tingkah laku, maka Psikologi Islam menambah dua
poin; yaitu membangun perilaku yang baik dan mendorong orang hingga
merasa dekat dengan Alloh SWT.

3. Jika konseling dalam Psikologi Barat hanya di sekitar masalah
sehat dan tidak sehat secara psikologis, konseling Psikologi Islam
menembus hingga bagaimana orang merasa hidupnya bermakna, benar dan
merasa dekat dengan Alloh SWT

D. Perilaku perspektip Psikologi Islam

Manusia adalah makhluk yang berfikir, merasa dan berkehendak, dan
kehendaknya dipandu oleh apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan.
Jiwa manusia bekerja secara sistemik, dan ditopang oleh lima
subsistem.

· Jiwa (disebut nafs) merupakan sisi dalam manusia, ia bagaikan
ruangan yang sangat luas dan didalamnya terdapat bagian-bagian
sebagai subsistemnya, terdiri dari `aql (mind), qalb (hati), bashirah
(hati nurani), syahwat (motiv) dan hawa (hawa nafsu). Tingkat
keluasan jiwa manusia berbeda-beda dipengaruhi oleh factor hereditas
dan proses interaksi psikologis sepanjang hidupnya.

1. Aqal adalah problem solving capacity, tugasnya berfikir. Akal
tidak bisa memutuskan kebenaran tapi ia bisa menemukan kebenaran.
Kebenaran intelektual sifatnya relatip

2. Qalb(hati), . merupakn alat untuk memahami realita,. Sesuatu yang
tidak rationil masih bisa difahami oleh qalb . Dalam system nafsani
qalb merupakan pusat pengendali sistem , yang memimpin kerja jiwa
manusia. Di dalam qalb ada berbagai kekuatan dan penyakit; seperti
iman, cinta dengki, keberanian, kemarahan, kesombongan, kedamaian,
kekufuran dan sebagainya. Qalb memiliki otoritas memutuskan sesuatu
tindakan, oleh karena itu segala sesuatu yang disadari oleh qalb
berimplikasi kepada pahala dan dosa. Apa yang sudah dilupakan oleh
qalb masuk kedalam memory nafs (alam bawah sadar), dan apa yang sudah
dilupakan terkadang muncul dalam mimpi. Sesuai dengan namanya qalb,
ia sering tidak konsisten.

3. Bashirah, adalah pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan
mata kepala. Berbeda dengan qalb yang tidak konsisten, bashirah
selalu konsisten kepada kebenaran dan kejujuran. Ia tidak bisa diajak
kompromi untuk menyimpang dari kebenaran. Bashirah disebut juga
sebagai nuraniy, dari kata nur, .Bashirah adalah cahaya ketuhanan
yang ada dalam hati, nurun yaqdzifuhullah fi al qalb. Interospeksi,
tangis kesadaran, relegiusitas, god spot,bersumber dari sini.

4. Syahwat adalah motiv kepada tingkahlaku. Semua manusia memiliki
syahwat terhadap lawan jenis, bangga terhadap anak2, menyukai benda
berharga, kendaraan bagus, ternak dan kebun. Syahwat adalah sesuatu
yang manusiawi dan netral.

5. Hawa adalah dorongan kepada obyek yang rendah dan tercela.
Perilaku kejahatan, marah, frustrasi, sombong, perbuatan tidak
bertanggung jawab, korupsi, sewenang-wenang dan sebagainya bersumber
dari hawa. Karakteristik hawa adalah ingin segera menikmati apa yang
diinginkan tanpa mempedulikan nilai-nilai moralitas.

· Orang yang ke lima subsistemnya normal, maka perilakunya
proporsional.

· Orang yang lebih mengikuti akalnya, perilakunya sangat rationil
tapi hidupnya cenderung kering,

· orang yang lebih menggunakan hatinya, hidupnya tenang meski
terkadang tidak rationil

· orang yang lebih menggunakan bashirahnya pilihannya dijamin tepat,
perilakunya dijamin benar secara vertical maupun horizontal

· Orang yang lebih mengikuti syahwatnya cenderung konsumtip dan
hedonis dalam hidupnya.

· Orang yang lebih mengikuti hawa nafsunya cenderung destruktip bagi
dirinya dan orang lain.

E. Problematika Psikologi Islam

Perlu disadari, bahwa perjuangan Psikologi Islam di Indonesia ternyata tidak semudah yang dicita-citakan. Sejumlah problematika baik pada tataran teoritik, aplikatif maupun kelembagaannya menunggu di hadapan kita. Beberapa problematika yang bisa penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya problem metodologis yang sampai saat ini belum sepenuhnya disepakati. Hal ini perlu disikapi karena salah satu persyaratan membangun ilmu pengetahuan adalah akurasi metodologis. Secara aksiologis, semua pihak sepakat akan artinya Psikologi Islam dalam menuntaskan permasalahan umat, karena Psikologi Barat kontemporer selama ini ternyata tidak sepenuhnya mampu menjawabnya. Namun secara epistimologis, dikotomi pola pikir masih tampak disana-sini. Sarjana berbasis studi Islam misalnya, masih banyak berkutat pada pendekatan normatif, sedangkan sarjana berbasis Psikologi Barat ketika mengintegrasikan dengan Islam banyak yang berkutat pada pemahaman Psikologi Baratnya.
Kedua, integrasi psikologi dengan Islam masih bertaraf teoritik dan belum pada tataran aplikatif. Hal itu terlihat pada bidang-bidang penelitian dan diagnosis masalah-masalah psikologis. Dalam kasus penelitian yang dilakukan oleh beberapa sarjana muslim, pada tingkat kerangka teori, mereka mencoba mengintegrasikan antara teori-teori psikologi Barat dengan Islam. Namun, ketika membuat instrumen penelitiannya, mereka hanya men-download dari hasil penelitian sebelumnya yang dianggap permanen, sehingga antara kerangka teorinya tidak memiliki koneksitas dengan intrumen penelitian lainnya.
Ketiga, masalah diagnosis persoalan psikologis. Sampai saat ini, Psikologi Islam belum memiliki alat tes dalam mengukur kriteria-kriteria tertentu. Jika Psikologi Islam dipandang sebagai ilmu praktis, maka kedudukan alat tes menjadi tolak ukur keberadaannya. Ironisnya, saat ini para psikolog masih berkutat pada penggunaan alat-alat tes yang diadaptasi dari teori-teori Barat tanpa mempertanyakan validitas teorinya. Kita harus berupaya mengkonstruksi alat tes sendiri yang benar-benar Islami.
Keempat, dalam training psikologis yang dilakukan oleh praktisi muslim, kalau boleh dijustifikasi sebagai produk Psikologi Islam, sesungguhnya telah menunjukkan prestasi yang spektakuler. Sebut saja Ary Ginanjar Agustian dengan ESQ (Emosional Spiritual Quetiont) nya. Training ini bertujuan untuk pengembangan diri dalam membangun mentalitas ummat, bukan pada pendekatan simptomatis yang menterapi gangguan kejiwaan. Sebagai entrepreneur, Ary telah menunjukkan keunggulan training yang diturunkan dari nilai-nilai Islam. Lembaganya memiliki jaringan, yang tidak saja pada kalangan akademisi, tetapi juga pada kalangan eksekutif. Dalam kasus yang hampir serupa, terapi-terapi ruqyah telah menjadi psikoterapi alternatif bagi umat Islam. Tujuan terapi ini adalah untuk menghilangkan gangguan kejiwaan pada umat karena gangguan sihir, makhluk halus atau lainnya. Namun, jika hal ini ditransformasikan di lingkungan akademis, maka tidak terelakkan klaim bahwa kampus menjadi praktek perdukunan. Padahal pada kenyataannya, terapi ruqyah ternyata memberikan solusi bagi umat yang tidak mampu dilakukan oleh para psikolog.
Kelima, kerancuan kurikulum Psikologi Islam di perguruan tinggi. Penyajian kurikulum Psikologi Islam yang ditawarkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam(PTAI) masih bersifat sparatis. Artinya, psikologi Islam masih dipahami sebagai matakuliah yang memiliki bobot SKS seperti mata kuliah yang lain. Idealnya, seluruh mata kuliah kepsikologian seharusnya mengintegrasi pada wawasan keislaman, sehingga tidak terjadi pengulangan dan tumpang tindih pada pokok-pokok bahasannya. Untuk pokok bahasan kepribadian misalnya, tidak perlu memasarkan dua mata kuliah seperti psikologi kepribadian Barat dengan psikologi kepribadian Islam, tetapi cukup dalam satu mata kuliah, psikologi kepribadian yang keduanya termuat di dalamnya.
Masalah-masalah tersebut perlu dipecahkan segera, karena transformasi teori Psikologi Islam sesungguhnya bermula dari kerangka kurikulum yang dibangun dalam suatu lembaga perguruan tinggi. Usaha-usaha untuk mendirikan fakultas atau program studi psikologi Islam harus tetap dilanjutkan, sekalipun sering mendapatkan kendala politis.
Kendatipun masih banyak berbagai kelemahan dan kekurangan, sebagai disiplin ilmu yang relatif muda, tapi telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Untuk itu, prospek Psikologi Islam ke depan menjadi tanggung jawab kita bersama seperti ilmuan psikologi, praktisi, peneliti, institusi dan peminat psikologi Islam untuk menciptakan gerakan massif memperjuangkan tegaknya Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang kokoh, baik di Indonesia maupun dunia internasional. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi hambaNya dari setiap niat yang tulus dan mulia

F. Tugas dan fungsi psikologi islam
Tugas : mengarahkan manusia ke arah ketaatan kepada Allah SWT
Fungsi : mengembangkan kesehatan mental
meningkatkam keimanan, ketaqwaan kepada Allah SWT
“Manusia yang sejahtera adalah manusia yang terbebas dari gangguan jiwa, hatinya tenang dan bahagia.”

Silabi Perkuliahan Psikologi Islam sem V

1. Pengertian, sejarah, tugas, ruang lingkup, dan metode psikologi islam
2. Teori-teori psikologi dan analisis dari islam
3. Faktor-faktor pembawaan dan lingkungan
4. Konsep manusia
5. Persepsi, belajar
6. Berpikir
7. Motif
8. Emosi
9. Kepribadian Muslim
10.Perilaku menyimpang

Jadwal Kuliah Semester V E-LK Tarbiyah periode 2006/2007

Sabtu
Psikologi Islam (Mudzalifah,MSi)
Pengembangan Sistem Evaluasi PAI (Zaenal Hafidzin)
Metodologi Penelitian Pendidikan Islam (Masrukin,S.Ag MPd)
Pengembangan Kurikulum PAI (Sulthon,M.Ag)

Ahad
Sejarah Peradaban Islam (M.Shohibul Itmam,MH)
Perencanaan Sistem PAI (Abdul Wahab,M.PdI)
Pendidikan Fiqih (Amirussodiq,Lc)
Manajemen Pendidikan (Retno Susilowati,M.Pd)