Sabtu, 08 Januari 2011

Serial Cinta Orang-orang Romantis


Oleh Anis Matta

Qais sebenarnya tidak harus bunuh diri. Hidup tetap bisa dilanjutkan tanpa Layla. Tapi itulah masalahnya. Ia tidak sanggup. Ia menyerah. Hidup tidak lagi berarti baginya tanpa Layla.

Ia memang tidak minum racun. Atau gantung diri. Atau memutus urat nadinya. Tapi la membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sampai nafas terakhir. Tidak bunuh diri. Tapi jalannya seperti itu.

Orang-orang romantis selalu begitu: rapuh. Bukan karena romantisme mengharuskan mereka rapuh. Tapi di dalam jiwa mereka ada bias besar.

Mereka punya jiwa yang halus. Tapi kehalusan itu berbaur dengan kelemahan. Dan itu bukan kombinasi yang bagus. Sebab batasnya jadi kabur: kehailusan dan kelemahan jadi tampak sama.

Qais lelaki yang halus. Sekaligus lemah.

Kombinasi begini membuat banyak orang-orang romantis jadi sangat rapuh. Apalagi saat-saat menghadapi badai kehidupan. Misalnya ketika mereka harus berpisah untuk sebuah pertempuran.

Maka cinta dan perang selalu hadir sebagai momen paling melankolik bagi orang-orang romantis Mengerikan. Tapi tak terhindarkan. Berdarah-darah. Tapi tak terelakkan. Itu dunia orang-orang jahat. Dan orang-orang romantis hanya datang ke sana sebagai korban.

Begitu ruang kehidupan direduksi hanya ke dalam kehidupan mereka berdua dunia tampak sangat buruk dengan perang. Tapi kehidupan punya jalannya sendiri. Ada kaidah yang mengaturnya. Dan perang adalah niscaya dalam aturan itu.

Maka terbentanglah medan konflik yang rumit dalam batin mereka. Dan orang-orang romantis yang rapuh itu seialu kalah. Itu sebabnya Allah mengancam orang-orang beriman: kalau mereka mencintai istri-istri mereka lebih dari cinta mereka pada jihad, maka Allah pasti punya urusan dengan mereka.

Tapi inilah persoalan inti dalam ruang cinta jiwa. Jika cinta jiwa ini berdiri sendiri, dilepas sama sekali dari misi yang lebih besar, maka jalannya memang biasanya ke sana: romantisme biasanya mengharuskan mereka mereduksi kehidupan hanya ke dalam ruang kehidupan mereka berdua saja, karena di sana dunia seluruhnya hanya damai, di sana mereka bisa menyembunyikan kerapuhan atas nama kehalusan dan kelembutan jiwa.

Itu sebabnya cinta jiwa selalu membutuhkan pelurusan dan pemaknaan dengan menyatukannya bersama cinta misi. Dari situ cinta jiwa menemukan keterarahan dan juga sumber energi. Dan hanya itu yang memungkinkan romantisme dikombinasi dengan kekuatan jiwa. Maka orang-orang romantis itu tetap dalam kehalusan jiwanya sebagai pencinta, tapi dengan kekuatan jiwa yang tidak memungkinkan mereka jadi korban karena rapuh.

Ketika kabar syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya menjawab enteng, “Alhamdulillab, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang dengan para bidadari.”